Jumat, 20 Juni 2008

Perkataan Bijak Beberapa Wanita Mulia

Perkataan yang baik, jawaban yang bijak, dan spontanitas yang terarah dengan kandungan isi yang berbobot, makna yang mendalam, dan arti yang terukur, merupakan indikasi akal, kebijaksanaan, dan kecermatan seseorang. Di bawah ini adalah kumpulan perkataan dan sikap dari para wanita sahabat yang menunjukkan semua itu.


***


1. Khadijah binti Khuwailid

Sepulang menerima wahyu di goa Hira, Rasulullah SAW diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Sampai di rumah, Rasulullah berkata kepada Khadijah, "Selimuti aku, selimuti aku." Khadijah menyelimutinya hingga beliau tenang. Lalu beliau menceritakan kepada Khadijah peristiwa yang baru saja dialaminya. Rasulullah berkata, "Aku takut terhadap diriku." Khadijah menjawab, "Demi Allah, tidak akan, Allah tidak akan menghinakanmmu selamanya. Engkau menyambung silaturrahim, memikul kesulitan, membantu orang tidak berpunya, memuliakan tamu, dan membantu kesulitan dalam kebenaran."


***

2. Aisyah binti Abu Bakar

Aisyah berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu apabila engkau singgah di sebuah lembah dimana di sana terdapat rerumputan yang telah dijamah oleh ternak gembalaan dan rerumputan yang belum dijamah. Di lembah manakah engkau melepas untamu?" Nabi SAW menjawab, "Di rerumputan yang belum dijamah." Maksudnya adalah bahwa Rasulullah SAW tidak menikah dengan gadis selainnya.


***


3. Aisyah binti Thalhah

Al-Hasan bin Ali berkata kepada istrinya, Aisyah binti Thalhah, "Urusanmu berada di tanganmu." Aisyah istrinya menjawab, "Selama dua puluh tahun ia berada di tanganmu. Kamu menjaganya dengan baik. Ketika ia berada di tanganku, maka aku tidak menyia-nyiakannya sesaat pun dan aku telah memberikannya kepadamu." Al-Hasan mengagumi jawabannya dan tidak menceraikannya.


***

4. Asma' binti Yazid Al-Asyhaliyyah

Asma' binti Yazid mendatangi Rasulullah SAW, sementara beliau di antara para sahabatnya. Asma' berkata, "Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu, ya Rasulullah. Saya adalah utusan para wanita kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Kami para wanita selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat, dan mengandung anak-anak. Sementara kalian, kaum laki-laki, mengungguli kami dalam shalat Jum’at, shalat berjama'ah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji, dan yang lebih utama adalah jihad fi sabilillah. Dan jika salah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan ini sama seperti kalian?"

Nabi SAW memandang para sahabat dengan seluruh wajahnya. Kemudian beliau bersabda, "Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya daripada wanita ini?" Mereka menjawab, "Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia." Nabi SAW menengok kepadanya dan bersabda, "Pahamilah, wahai ibu, dan beritahu para wanita di belakangmu, bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya, dan kepatuhannya terhadap keinginannya, menyamai semua itu." Asma' berlalu dengan wajah berseri-seri.


***

5. Asma' binti Umais

Ali bin Abu Thalib menikahi Asma' binti Umais RA. Kedua putranya, Muhammad bin Ja'far dan Muhammad bin Abu Bakar, saling membanggakan diri. Masing-masing berkata, "Aku lebih mulia darimu, bapakku lebih baik daripada bapakmu." Ali berkata kepada Asma', "Wahai Asma', kamu yang menjadi pengadil di antara mereka berdua." Asma' berkata, "Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja'far, dan aku tidak melihat orangtua yang lebih baik daripada Abu Bakar." Ali berkata, "Kamu tidak menyisakan sedikit pun bagi kami. Seandainya kamu berkata lain, niscaya aku akan memarahimu." Asma' berkata, "Sesungguhnya tiga orang dimana kamu adalah yang paling muda adalah orang-orang terpilih."


***

6. Asma' binti Abu Bakar

Asma' binti Abu Bakar RA mempunyai sepotong baju peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Abdullah bin Az-Zubair terbunuh, baju itu pergi menghilang. Asma' berkata, "Hilangnya baju itu lebih berat bagiku daripada terbunuhnya Abdullah." Ternyata baju itu berada di tangan seseorang dari kota Syam, orang tersebut berkata, "Aku tidak akan mengembalikannya kecuali jika Asma' memohonkan ampunan untukku." Asma' berkata, "Bagaimana aku memohon ampunan untuk pembunuh Abdullah." Mereka berkata, "Dia bersedia mengembalikan baju itu." Asma' berkata, "Katakan kepadanya agar datang." Lalu laki-laki itu datang dengan membawa bajunya diiringi Abdullah bin Urwah, cucu Asma'. Asma' berkata, "Berikan baju itu kepada Abdullah." Lalu dia memberikannya. Asma' bertanya, "Wahai Abdullah, apakah bajunya sudah di tanganmu?" Abdullah menjawab, "Ya." Asma' berkata, "Semoga Allah mengampunimu, wahai Abdullah." Maksud Asma' adalah Abdullah bin Urwah cucunya, bukan laki-laki tersebut.

Asma' binti Abu Bakar RA mempunyai sepotong baju peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Abdullah bin Az-Zubair terbunuh, baju itu pergi menghilang. Asma' berkata, Ternyata baju itu berada di tangan seseorang dari kota Syam, orang tersebut berkata, "Aku tidak akan mengembalikannya kecuali jika Asma' memohonkan ampunan untukku." Asma' berkata, Mereka berkata, "Dia bersedia mengembalikan baju itu." Asma' berkata, Lalu laki-laki itu datang dengan membawa bajunya diiringi Abdullah bin Urwah, cucu Asma'. Asma' berkata, Lalu dia memberikannya. Asma' bertanya, Abdullah menjawab, "Ya." Asma' berkata, Maksud Asma' adalah Abdullah bin Urwah cucunya, bukan laki-laki tersebut.


***

7. Ummu Ma'bad

Ummu Ma'bad adalah seorang wanita yang mana Rasulullah dan Abu Bakar pernah singgah minum padanya pada saat hijrah ke Madinah. Ummu Ma'bad berkata tentang Rasulullah SAW, "Aku melihat seorang laki-laki yang tampan, berbadan tegap, berwajah cerah, berkepala sedang, tidak besar tidak pula kecil, berakhlak mulia, berbudi pekerti baik, berbola mata hitam, bulu matanya panjang, bersuara sedikit serak, putih matanya sangat putih, hitam matanya sangat hitam, kedua alisnya melengkung dan hampir bertemu, lehernya panjang, jenggotnya lebat. Jika diam, dia diliputi oleh ketenangan. Jika dia berbicara, dia dinaungi oleh kewibawaan. Ucapannya manis, tegas, tidak pendek, tidak bertele-tele, kata-katanya seperti untaian mutiara yang tertata rapi. Dari jauh, dialah orang yang paling tampan dan menawan. Dari dekat, dialah orang yang paling manis dan baik, berbadan sedang, mata tidak mencelanya karena kepanjangan, dan mata tidak menjelekkannya karena kependekan, seperti dahan pohon di antara dua pohon yang pendek dan panjang, paling indah dipandang dari tiga, paling harum baunya. Dia memiliki teman-teman yang menghormatinya. Jika dia berbicara, mereka mendengar ucapannya. Jika dia memerintah, mereka berlomba-lomba melaksanakannya. Mereka berbondong-bondong membantu dan melayaninya, tidak bermuka masam dan tidak lemah pendapat."

Referensi : Ar-Rahiq Al-Makhtum dan Adz-Dzakiyat, Qasim Asyur

Menjadi Muslimah Idaman

Masa remaja adalah masa yang paling indah. Itulah sebabnya, remaja yang menyadarinya memanfaatkannya untuk mengukir prestasi dan karya yang membanggakan, supaya tidak menyesal di hari tua. Imam Maliki, pemimpin mazhab yang begitu ketat memanfaatkan masa remajanya untuk berkarya pun pernah mengkhayal ingin menjadi remaja lagi walau hanya sehari. Keinginan itu timbul karena masa remaja begitu indahnya. Maka, bisa dibayangkan apa yang dirasakan mereka yang bermalas-malasan atau tak berprestasi di masa remaja.

Realitas sosial menunjukkan remaja Islam, khususnya remaja muslimah, masih banyak yang mengisi masa remajanya dengan berbagai hal yang sia-sia, bergaya hidup materialistis, tidak peduli halal-haram, berpenampilan sensual, individualis, tidak mengenal tata-krama, serta kurang hormat kepada kedua orangtua. Keshalehan dianggap sebagai barang usang.

Padahal, jadi muslimah shalehah itu indah. Betapa tidak, muslimah shalehah tidak hanya indah dari segi fisik dan penampilannya (outer beauty) saja, melainkan juga dari segi kepribadiannya (inner beauty), yang tercermin dari kebeningan hati, kejernihan pikiran, kemuliaan akhlak, keluhuran budi pekerti, kesederhanaan, dan ketulusan perilakunya dalam setiap situasi dan kondisi, baik dalam pergaulan di tengah keluarga maupun di tengah masyarakat.

Agar kepribadian muslimah shalehah lebih indah, maka seorang muslimah harus lebih banyak memperdalam ilmu, terutama tentang apa dan bagaimana agenda muslimah shalehah dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari masa akil baligh atau masa bertanggung jawab pada diri sendiri, pembentukan identitas pribadi, penentuan jalan hidup, sampai pada pengambilan peran dalam kehidupan bermasyarakat, serta cara berbakti kepada kedua orangtua.

Muslimah shalehah tidak berspekulasi dalam pergaulan, melainkan menjalin persahabatan sesuai syari'ah, aktif mengikuti kegiatan sekolah, berprestasi, merencanakan keberhasilan, dan belajar mengasah kepedulian. Muslimah shalehah juga menjadikan kejujuran sebagai karakter utama, tampil PD, serta memiliki wawasan luas.

Lebih daripada itu, dia suka melibatkan diri dalam kegiatan sosial, karena ia tahu kewajiban sosialnya. Ia mengembangkan cinta kasih, bersifat pemaaf, suka menolong, menghindari jalan hidup kufur, menciptakan lingkungan Islami, suka berdakwah dan taat beragama, siap dalam menghadapi suka-duka kehidupan, dan selalu mengambil hikmah di balik setiap kegagalan dan keberhasilan.

Di atas segalanya, muslimah shalehah lebih menyukai hidup mandiri dan produktif, selalu berpenampilan menyenangkan, menjaga kehormatan keluarga, dan memahami kecemasan orangtua, serta tahu berterima kasih, membalas budi, dan berbakti kepada kedua orangtua. [RoL]

Wanita dalam Dunia Dakwah dan Kerja

"Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar." (QS. Ali Imran [3] : 104). Dari firman Allah SWT tersebut, kita mengetahui bahwa yang diseru untuk berdakwah adalah semua umat manusia, tak terkecuali kita kaum wanita.

Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan dakwah di jalan Allah sebagai pekerjaan utama mereka. Di mana pun dan dalam kesempatan apa pun, pikiran mereka tercurah untuk mendakwahkan Islam.


***


Dakwah dalam Segala Kesempatan

Khususnya kita kaum wanita, dapat juga turut berdakwah dalam segala kesempatan. Sambil melihat skala prioritas amanah peran yang sedang dipikul. Apakah ia seorang anak, seorang ibu, seorang istri, atau sekaligus beberapa peran pada saat yang sama. Wanita apa pun posisinya, adalah proses bekerja sekaligus dakwah (menyeru, mengajak). Perlu kesadaran mengatur diri dan waktu, di dalam atau pun di luar rumah.


***


Masa sebagai Anak

Seorang wanita lajang mempunyai manajemen waktu cukup longgar untuk mengatur kepentingan diri dan keluarganya. Namun, ia tetap berada dalam tanggungjawab pendidikan dan asuhan orangtua. Walaupun terbuka lebar mendapat penghasilan dari usaha bekerja di luar rumah, namun nilai dakwah harus mewarnai semua aktivitasnya dan tetap berhati-hati menjaga dirinya sebagai anak yang shalehah (QS. Al-Isra [17] : 23-24, dan QS. Luqman [31] : 14).

Apa pun pekerjaan yang digelutinya, harus menjalankan aturan Islam, harus halal, tidak bertentangan dengan fitrah kewanitaannya, dapat menjaga adab pergaulan menghindari berduaan (khalwat) dengan laki-laki bukan muhrim, senantiasa menjaga pandangan, berpakaian tidak menampakkan aurat, selalu shalat, menjauhkan diri dari suap-menyuap, memanipulasi data, dan lain-lain.

Anak yang masih lajang, leluasa berkarya di luar rumah dengan seizin orangtua. Jangan lupa mengatur waktu membantu di rumah dan mengutamakan berbakti terhadap keduanya.


***


Masa sebagai Ibu

Kaum ibu mempunyai kedudukan yang agak berbeda dan khas, karena Allah SWT menempatkan posisi kaum ibu yang setaraf dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri dengan baik. "Siapa di antara kalian para istri dan ibu ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagai ibu, menyadari skala prioritas "kurun waktu tertentu", rumah sebagai basis utama kerja dan dakwahnya. Sekedar contoh, anak sedang dalam masa menyusui, tidaklah mungkin seorang ibu "tega" mengutamakan karier di luar rumah dengan merasa cukup mengambil masa cuti hamil dan cuti melahirkan saja.

Manajemen diri dan waktu seorang ibu justru ditentukan oleh pertumbuhan fisik-motorik, intelektual-kognisi, emosional dan spiritual anaknya, sehingga sedikit demi sedikit ketergantungan anak itu berkurang (pada masa baligh) dan mulai bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah SWT.

Oleh karenanya, nilai ibadah terbesar seorang ibu di mata Allah SWT justru membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab, yaitu berdakwah di tengah-tengah keluarganya lebih dahulu. Idealnya ia punya kegiatan yang fleksibel dari segi waktu, dan dapat mengajak anak ikut serta ketika beraktifitas di luar rumahnya.

Seorang ibu (istri) akan ditanya tentang tugasnya di dalam rumah tangga. Rasulullah SAW bersabda, "Dan seorang istri itu adalah pengatur di dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab terhadap yang diaturnya itu." (HR. Bukhari dan Muslim).


***


Masa sebagai Istri

Sangat disayangkan jika kebanyakan para istri di rumah sering tidak PD (Percaya Diri) bila menyatakan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Padahal kedudukan mereka itu dalam Islam bernilai sangat mulia dan akan memasuki pintu surga dari mana saja yang ia sukai bila berperilaku sesuai aturan Islam.

Dari Abdur Rahman bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika perempuan mengerjakan shalat yang lima, puasa Ramadhan, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai." (HR. Ahmad dan Thabrani).

Istri berperan besar sebagai motivator, pendamping, pendukung dakwah, dan karier suami di dalam dan di luar rumah tangga. Kita bisa meneladani istri Rasulullah SAW, Siti Khadijah RA. Di balik kesuksesan seorang ayah, suami, pasti ada wanita sebagai ibu, istri di belakangnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah RA, Rasululllah SAW bersabda, "Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik daripada Khadijah. (Tahukah engkau) bahwa ia beriman kepadaku dikala orang lain menentang risalahku. Dia membenarkan apa yang kudakwahkan dikala orang lain mendustaiku. Dia menyokong aku dengan harta yang dimilikinya, sedangkan orang lain mengharamkan sumbangan hartanya kepada usahaku. Dan tahukah engkau bahwa dialah satu-satunya istri tercinta yang telah diberi kurnia oleh Allah dengan keturunanku melalui rahimnya, padahal istriku yang lain tidak memberikan keturunan."

Siti Khadijah sebagai istri yang setia turut berjihad dengan dana dan jasa sejak 15 tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasulullah dan selama 10 tahun setelah diangkat menjadi Rasulullah.

Semoga saja setiap wanita dapat menjadi penyeru amar ma'ruf nahyi munkar, berdakwah dengan posisinya masing-masing, dan mendapat pahala kebaikan. Amiin. Wallahu a'lam. [Swadaya-052008]

Jumat, 02 Mei 2008

Membuka pintu syurga

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyabut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun."Fatimah menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala."

"Terima kasih," jawab Ali.
Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih.Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama'ah.
Sepulang dari sembahyang, di jalan ia dihentikan oleh seorang tua. "Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?"
Áli menjawab heran. "Ya betul. Ada apa, Tuan?''

Orang tua itu merogoh kantungnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya."Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.Ali pun bergegas berangkat ke pasar.

Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, "Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan."

Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.Fatimah, masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."

-----------------

Sumber : Kisah-Kisah Teladan